Beranda | Artikel
Cara Mensucikan Najis-Najis Sesuai Yang Ditunjukkan Oleh Dalil
Senin, 20 Juli 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Cara Mensucikan Najis-Najis Sesuai Yang Ditunjukkan Oleh Dalil merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 29 Dzulqa’dah 1441 H / 20 Juli 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Benda-Benda Yang Diperselisihkan Oleh Para Ulama Apakah Itu Najis Atau Suci

Kajian Tentang Cara Mensucikan Dari Najis

Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya kita sudah membahas banyak sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil tentang kenajisannya. Saya sebutkan secara ringkas:

  1. Kotoran manusia, baik dari jalan depan maupun dari jalan belakang.
  2. Madzi, maka kita sudah membahas khilaf yang terjadi di kalangan para ulama dan saya melihat bahwa madzi itu suci sebagaimana mani. Karena madzi adalah bagian dari mani.
  3. Darah secara umum adalah najis, baik darah haid ataup darah selain darah haid. Hal ini karena adanya ijma’ para ulama yang menjelaskan kenajisannya.
  4. Kotoran hewan yang haram dimakan.
  5. Air liur anjing. Najisnya adalah najis mughalladzah, harus dicuci dengan air sampai 7 kali, salah satu dari 7 kali tersebut harus dicampur dengan pasir atau tanah.
  6. Daging babi. Allah menyebutkan sebagai رِجْسٌ.
  7. Bangkai, dikecualikan beberapa bangkai; bangkai ikan, bangkai belalang, bangkai hewan-hewan yang kecil yang dikatakan oleh para ulama sebagai hewan yang tidak ada ada darah yang mengalir padanya, dikecualikan juga bagian-bagian bangkai yang kering seperti tulang, tanduk, rambut, kuku.
  8. Organ tubuh hewan yang terpisah dari hewan yang masih hidup. Bagian yang terpisah ini disebut sebagai bangkai oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  9. Daging hewan yang haram dimakan. Hal ini diqiyaskan ke daging himar yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sesuatu yang najis.

Najis yang dimaafkan

Inilah benda-benda yang ditunjukkan oleh dalil bahwa itu adalah benda-benda yang najis. Disana ada najis-najis yang dimaafkan. Dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah najis-najis yang dimaafkan. Ada yang mengatakan bahwa semua najis yang tergolong sedikit, maka dimaafkan. Ada yang mengatakan tidak demikian, ia tetap dikatakan najis dan harus dihilangkan. Ada yang mengkhususkan beberapa najis yang dimaafkan apabila sedikit, seperti misalnya muntah dan ada hal-hal yang lain yang disebutkan oleh para ulama.

Dalam kitab yang kita bahas ini penulis Hafidzahullahu Ta’ala menyebutkan kaidah yang dengan kaidah ini kita bisa mengetahui apa saja najis yang dimaafkan. Beliau mengatakan:

الضابط لم يعفى عنه من النجاسات هو الضرورة

“Standar untuk mengetahui najis-najis yang dimaafkan adalah keadaan darurat.”

أو عموم البلوى مع تعذر الاحتراز منها

“Atau sesuatu yang sebagian besar manusia mengalaminya dan sulit untuk dihindari (atau bahkan tidak mungkin dihindari).”

وحصول الحرج والمشقة فى إزالتها

“Dan adanya kesulitan yang sangat besar dalam menghilangkannya.”

Inilah standar najis-najis yang dimaafkan. yaitu:

  1. Apabila keadaan darurat, maka najis dimaafkan. Misalnya ada orang yang dia dipenjara, tidak boleh keluar sama sekali, akhirnya dia tidak bisa kecuali kencing atau buang air di tempat itu. Bagaimana kalau dia akan shalat? Maka dianggap bahwa najisnya dimaafkan, dia harus shalat diwaktunya. Kalaupun dia keluar dari penjara dan bisa membersihkan najis itu, maka ketika itu hukumnya kembali ke asal. Sehingga dia wajib untuk membersihkannya.
  2. Najis-najis yang dialami oleh semua orang dan sulit untuk dihindari. Ini seperti misalnya kotoran cicak. Secara kaidah bahwa kotoran cicak adalah najis. Tapi kotoran cicak ini tergolong kecil/sedikit sekali. Dan sebagian besar manusia mengalaminya dan sulit untuk dihindari atau bahkan tidak mungkin dihindari. Apalagi cicak yang ada di masjid, kalau dikatakan harus dihilangkan/dicuci, maka ini akan sangat memberatkan sekali. Maka ini termasuk diantara najis yang dimaafkan. Kenapa saya katakan bahwa secara kaidah kotoran cicak adalah najis? Jawabnya adalah karena kotoran cicak tidak boleh dimakan dan kotoran hewan yang haram dimakan adalah najis. Kenapa cicak tidak boleh dimakan? Karena ada perintah untuk membunuhnya. Dan sudah kita sebutkan di kajian yang sebelumnya bahwa setiap hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka haram dimakan. Ini adalah salah satu kaidah fikih yang disebutkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Dan kita mengenal bahwa المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ “kesulitan yang luar biasa akan mendatangkan kemudahan dalam syariat ini”.

Bagaimana mensucikan najis-najis sesuai yang ditunjukkan oleh dalil?

Alhamdulillah pada kesempatan-kesempatan yang telah lalu kita sudah membahas najis-najis yang ditunjukkan oleh dalil. Sekarang yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menghilangkan najis itu, bagaimana kita mensucikannya? Maka ada banyak dalil yang menjelaskan cara menghilangkan najis atau cara mensucikannya.

Ada kaidah umumnya dalam hal menghilangkan najis. Yaitu bahwa ketika dzat najisnya hilang, maka barang yang terkena najis itu dianggap suci, baik hilangnya dengan air atau tanpa air. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Karena sebagian ulama mengatakan bahwa menghilangkan najis atau mensucikannya harus dengan air. Adapun yang selain air, maka harus ada dalil yang menjelaskannya. Pendapat yang lebih kuat dari pendapat ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa semua najis apabila bisa dihilangkan dengan apapun, maka benda yang terkena najis tersebut dianggap telah suci karena dzat najisnya hilang walaupun hilangnya tanpa dengan air.

1. Bagaimana menghilangkan najis dari darah haid?

Apabila baju kita terkena darah haid, bagaimana mensucikannya. Cara menghilangkannya adalah dengan dibasuh atau dicuci dengan air. Kita berusaha untuk menghilangkan darah itu. Kalau misalnya darahnya sudah kering, maka hilangkan dengan menguceknya dengan ujung jari sampai dzat najisnya bisa berkurang, kemudian setelah itu dikucek lagi lalu dibasuh dengan air sampai dzatnya hilang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Suatu ketika ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan perempuan itu mengatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمُ الْحَيْضِ ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟

“Wahai Rasulullah, ada salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haid, apa yang harus dia lakukan untuk membersihkannya?”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

“Kalau seperti itu maka dia kucek dengan ujung jarinya, kemudian dibasuh dengan air, kemudian dia boleh menggunakannya untuk shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mungkin darahnya sudah kering sehingga harus dikucek dulu dengan ujung jari sehingga darah yang menempel di baju sampai kering tersebut bisa hilang, meskipun hilangnya tidak sempurna dan masih ada warnanya. Kemudian setelah itu dibasuh dengan air sampai hilang. Jika tidak bisa hialang secara semurna, yang jelas kita berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan tapi masih ada sisa warnanya sedikit, maka dianggap sudah hilang dianggap. Karena kadang-kadang ada warna yang memang sulit untuk dihilangkan. Maka dianggap hal itu sudah sangat sedikit sekali. Misalnya dibilas sampai 10 kali bilasan ternyata masih ada warna itu, maka kita anggap itu sesuatu yang sangat sedikit sekali dan dianggap tidak ada dan pakaian sudah suci.

2. Bagaimana membersihkan pakaian apabila terkena kencingnya anak kecil?

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kita cara untuk membersihkannya. Beliau mengatakan:

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ

Apabila anak tersebut anak yang yang masih kecil dan belum makan selain ASI ibunya, maka ketika keadaannya demikian dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau anaknya laki-laki, maka cukup diciprati dengan air tanpa harus dibasuh (Bukan berarti tidak boleh dibasuh, tapi kalau ingin mencipratinya dengan air saja, itu sudah cukup. Kalau dibasuh, maka lebih baik karena dengan itu najisnya bisa hilang dengan lebih sempurna). Adapun kalau anaknya perempuan, walaupun masih kecil dan belum mengkonsumsi sesuatu kecuali ASI ibunya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharuskan untuk dibasuh dengan air.

Apa bedanya anak laki-laki dengan anak perempuan? Kita jawab wallahu ta’ala a’lam. Mungkin apabila dibuktikan secara ilmiah akan ada bedanya, dan saya tidak tahu. Tapi yang jelas syariat membedakan antara kencingnya anak laki-laki dan kencingnya anak perempuan. Dan ketika syariat membedakan, itu berarti pasti ada bedanya. Hanya saja kadang-kadang kita tidak tahu perbedaannya dimana. Dan saya yakin kemajuan ilmu pengetahuan di zaman ini bisa membedakan kandungan air seni dari anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan dan pasti berbeda.

3. Bagaimana membersihkan pakaian dari madzi?

Pendapat mayoritas ulama mengatakan bahwa madzi adalah najis. Bagaimana cara membersihkan madzi apabila kita memilih pendapat yang mengatakan bahwa madzi adalah najis? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan cara agar madzi bisa hilang najisnya. Yaitu dengan mencipratinya dengan air saja.

Makanya ulama yang mengatakan bahwa madzi itu najis, maka najisnya adalah mukhaffafah (najis yang ringan), makanya cukup diciprati dengan air. Sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi adalah suci, mereka ber itu suci berdalil dengan hadits ini bahwa madzi itu suci, maka cukup dengan diciprati air. Karena kalau diciprati dengan air, dzat madzinya masih ada tapi sudha boleh digunakan untuk shalat. Itu berarti bahwa madzi adalah suci.

Bagi ulama yang mengatakan madzi adalah najis, mereka berdalil dengan hadits yang sama dan mengatakan bahwa kalau madzi itu suci, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk mencipratinya dengan air?

Jadi para ulama khilaf dan ini sesuatu yang wajar. Karena memang pemahaman antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya dalam memahami hadits dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada bisa berbeda. Yang jelas kita memilih diantara pendapat yang ditunjukkan oleh dalil yang menurut kita lebih kuat, maka itulah yang kita ambil dan kita harus menghormati pendapat yang lainnya.

Saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa madzi itu suci. Karena secara kenyataan bahwa madzi adalah bagian dari mani, sedangkan mani menurut kita adalah suci. Maka konsekuensinya bahwa madzi yang merupakan bagian dari mani adalah suci. Adapun perintah untuk mencipratinya dengan air, maka ini tidak menunjukkan bahwa madzi itu najis. Karena bisa kita pahami bahwa perintah tersebut adalah perintah anjuran, tidak sampai pada derajat wajib. Dan kita juga bisa mengambil alasan yang disebutkan oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi ini dzatnya masih ada walaupun diciprati dengan air. Tapi dengan diciprati dengan air tersebut kita sudah boleh menggunakan pakaian yang terkena madzi itu. Sehingga dzat madzi sebenarnya tidak najis. Wallahu ta’ala a’lam..

4. Bagaimana mensucikan pakaian perempuan yang menjulur ke tanah dan tanahnya ada najisnya?

Di dalam Islam, pakaian perempuan disunahkan untuk terjulur melebihi kaki. Ini kalau pada laki-laki masuknya sebagai isbal. Tapi kalau pada perempuan isbal ini dianjurkan untuk menutup kakinya. Inilah Islam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kalau perempuan karena memang diperintahkan untuk menutup diri dan jangan sampai menjadi fitnah bagi laki-laki, maka yang yang seperti ini dibolehkan bahkan dianjurkan bagi perempuan untuk menjulurkan pakaian untuk menutupi kakinya. Tentunya dengan tidak berlebihan. Jangan sampai setelah ada orang yang mendengarkan kajian ini, pakaiannya dijulurkan sampai 1 meter, tidak demikian, ini berlebihan. Yang penting sudah terjulur dan menutupi kakinya, itulah yang dianjurkan di dalam Islam.

Bagaimana kalau di jalan ada najis yang mengenai pakaian itu, bagaimana cara membersihkannya? Apakah harus dicuci ataukah cukup diciprati ataukah cukup dibiarkan? Kita dengar bagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini.

Ummu Salamah, ibunda kaum mukminin, salah satu dari istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Salamah mengatakan: “Sungguh aku adalah seorang perempuan dan aku memanjangkan juluran kainku dan aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan mengatakan:

يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

“Tanah yang berikutnya bisa membersihkan kotoran itu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Jika demikian, maka tidka perlu dicuci, tidak perlu diciprati, sudah biarkan tanah yang berikutnya membersihkan kotoran itu.

Bagaimana membersihkan bagian bawah sandal yang terkena kotoran?

Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan lengkapnya..

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48759-cara-mensucikan-najis-najis-sesuai-yang-ditunjukkan-oleh-dalil/